SGI Bima: Surat Suara Hati Untuk Bapak Mendikbud RI

Kepada Yth.
Bapak Prof. Dr. Muhajir Effendi..M.AP
Mendikbud RI

Saya hanyalah seorang guru yang mengabdi di pelosok daerah ujung timur nusa tenggara barat tepatnya di Kabupaten Bima. Mungkin bapak pernah dengar kota kecil kami itu lewat media maupun televisi. Ketika kami mendengar pemerintah dalam hal ini Kemendikbud ingin memberlakukan sekolah delapan jam sehari yaitu dari jam 07.00 -16.00 dalam hati kami berpikir di sekolah yang sederhana ini. Apa bisa melewati dan menjalankan program bapak menteri. Sekolah kami tidak memiliki WC yang layak untuk buang air besar atau air kecil saja kami dan siswa kami harus menumpang di ruangan kepala sekolah. Sedangkan WC siswa sudah tidak layak dipakai lagi. Begitupun kantin sekolah kami, malu rasanya disebut kantin, pemahaman saya kantin itu adalah sebuah bangunan yang berupa bangunan kecil, tetapi disekolah kami kantin kami dibangun dari bambu tiangnya samping sungai kebetulan sekolah kami dekat sungai, atapnya beralaskan tarpal bukan genteng atau atap aluminium moderen. Kalaupun datang hujan  kami pasti kebanjiran karena sekolah kami bertempat di tengah sawah. Sekolah kami baru berdiri sejak tahun 2009 jadi sekolah kami tidak sebagus sekolah dikota-kota besar. Siswa kami hampir 99% adalah orang tuanya yang seorang petani, buruh dan bahkan siswa kami ditinggal oleh ayah ibunya yang bekerja sebagai tenaga kerja Indonesia di Malaysia maupun arab. Sejak kecil anak-anak ini ditinggal oleh orang tuanya dan tinggal bersama nenek dan kakeknya. Iyah...bisa dibilang  menunggu uang kiriman orang tuanya. Untuk itu sepulang dari sekolah anak-anak ini bekerja untuk bertahan hidup sebagai tenaga kuli pasir, penjaga toko, warung makan disela-sela tugasnya sebagai seorang siswa disekolah kami. Bahkan kami kemarin kami harus menjemput salah satu siswa kami untuk mengikuti UNBK. Fakta yang kami temukan alasannya tidak ada biaya untuk kesekolah karena memang anak sekolah ini jarak dengan sekolah kami sangat jauh. Bapak menteri yang saya hormati bukan maksud kami menolak Full Day School ini tetapi fakta di lapangan guru dan siswa tidak terbiasa dan fasilitas sapras kami sangat tidak memadai. Karena jumlah ruangan kami sangat kurang pada hari biasa kami membagi kelas sistem shift, Pagi kelas tiga dan dua SMK masuk pagi dan Siang sampai sore masuk sore. Bapak menteri yang saya hormati apalagi mau memberlakukan full day school  kami akan terpaksa ruangan-ruangan itu di kasih pembatas triplek ditengah-Nya. Bayangkan dalam satu ruangan ada dua kelas dengan dua guru. Bapak Menteri yang saya hormati guru di desa berbeda dengan guru dikota. Sehabis pulang sekolah kami harus ke sawah, kebun, gunung dan berwirausaha untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Mohon maaf bapak menteri hampir 99% guru didaerah kami ini sudah mengambil kredit bang. SK kami sudah kami jadikan jaminan untuk ambil kredit bank. Mau tidak mau itu adalah kebutuhan untuk sekolah dan kuliah anak-anak kami, kalaupun diberlakukan full day school, otomatis kami tidak bisa bekerja sepulang sekolah. Bapak menteri yang saya hormati jangan pernah menyeragamkan Indonesia ini karena identitas Indonesia ini adalah keragaman. Iya... sekali-sekali bapak menteri turun ke daerah kami untuk melihat kondisi kami didaerah-daerah terpencil disana bapak menteri akan melihat seperti apa kami berjuang untuk sekolah.


Pemberlakuan delapan jam per hari pada sekolah mulai dari pukul 07.00 hingga 16.00 WITA telah melanggar hak-hak anak dalam proses pendidikannya. Bapak Menteri yang saya hormati, durasi waktu yang cukup lama menimbulkan banyak persoalan di lapangan. Kalau dianalisis delapan jam per hari itu berarti ada 40 jam per pekan dalam lima hari tersebut.

“Kami menilai banyak kerugian yang bisa terjadi apabila penerapan proses belajar-mengajar lima hari ini terus dipaksakan,”.

Dalam penilaian saya sebagai ada sebelas faktor yang membuat saya menolak Full Day School ini Pertama berkaitan dengan kemampuan dan daya serap belajar yang akan menguras pikiran siswa. Dapat dilihat fakta lapangan pada jam keenam hingga kedelapan pada hari biasa, siswa sangat sulit berinteraksi lagi dengan gurunya. Apalagi, kalaupun gurunya tidak kreatif dan berinovasi dalam mengajar, kelas serasa membosankan bagi siswa.
“Ini artinya jika kegiatan belajar- mengajar ditambah sampai pukul 16.00, maka keterserapan pendidikan pada anak usia dini tidak akan maksimal,” katanya.
Kedua, terkait aspek mental- spiritual. Pendidikan Full Day School ini akan mematikan peran dari madrasah dan jika sekolah diberlakukan sampai sore hari, maka praktis mereka tidak bisa mengikuti kegiatan TPA dan ekstrakurikuler lainnya.
Ketiga, terkait aspek akademik. Aturan belajar-mengajar lima hari tentu pemberlakuan kurikulum seperti Kurikulum 2013 harus mengalami perubahan, karena ini menyangkut daya serap siswa terhadap materi yang diajarkan oleh para gurunya.
Disampaikannya, kalaupun hari ini proses pembelajaran seperti hari biasa maka itu tidak akan efektif bagi para siswa itu sendiri. Kurikulum lagi harus mengalami perubahan sesuai pemberlakuan Full Day School tersebut.
Keempat, terkait aspek kompetensi non-akademik. Konsep lima hari sekolah akan mengakibatkan ekstrakurikuler anak tidak tersalurkan secara baik, karena sekolah bukan hanya sekadar menerima pelajaran dari gurunya yang sifatnya akademik. Contohnya, siswa memiliki keahlian bidang olah raga, seni teater, musik, tari, dan ekstrakurikuler lainnya. Tidak akan mengikuti kegiatan ekstrakurikuler tersebut karena kegiatannya habis pada lima hari sekolahnya dari pagi sampai sore.
Kelima, penambahan jam belajar anak sampai 16.00 WITA akan mengakibatkan interaksi sosial anak dengan lingkungannya terbatas. Anak-anak usia dini tidak akan bermain bebas sesuai dengan usianya. Ini mengakibatkan anak-anak akan mengalami tekanan dan stres terhadap pemberlakuan jam dari pagi sore ini. “Anak-anak tidak bisa lagi mengenal lingkungan sekitarnya,”.
Keenam, penambahan jam belajar sekolah akan mengakibatkan penambahan uang saku bagi anak dan guru. Karena kalaupun tidak membawa bekal dari rumah, siswa ini harus menambah uang saku dari orang tuanya untuk biaya makan mereka sampai sore yang mereka belanjakan di kantin sekolahnya.
Begitu pun gurunya akan menambah biaya lagi untuk pribadinya maupun biaya yang dikeluarkan oleh sekolah untuk makan dan minum para guru sampai sore.
Bahkan, menurut saya, pembelajaran ini diterapkan bisa saja para guru ini akan pulang sejenak ke rumahnya masing-masing atau membeli makanan di luar pada saat proses jam belajar maupun jam istrahat.
Ketujuh, terkait ekonomi. kebanyakan para siswa di daerah terutama di pelosok terpencil, mata pencaharian kedua orang tuanya adalah petani, nelayan, dan buruh. Tentunya anak-anak ini pada hari biasa sebelum pemberlakuan Full Day School atau lima hari sekolah, kebisaannya mereka membantu orang tuanya di sawah, laut, ladang dan kegiatan yang mendatangkan nilai ekonomi bagi keluarga.
“Pemberlakuan ini, mereka sudah tidak bisa lagi membantu kedua orang tuanya,” katanya.
Kedelapan, program ini harus dibarengi kesiapan sarana dan prasarana sekolah. Untuk di daerah-daerah yang memiliki sarana dan prasarana yang tidak memadai mengakibatkan proses belajar tidak efektif.
Kesembilan, pihak orang tua belum terbiasa dengan aktivitas anak-anaknya sekolah sampai sore. Begitu pun gurunya memiliki batasan dalam mengajarkan siswa- siswinya, apabila tidak dibarengi metode mengajar dan mendidik yang menarik maka suasana kelas menjadi membosankan.
Kesepuluh, seberapa efektif pemberlakuan Full Day School ini pada pembinaan karakter anak. Karena pembinaan karakter anak bukan hanya pada aspek akademik namun aspek non akademik harus diperhatikan. Kesebelas, seberapa siapkah tenaga pendidik terbiasa dengan aktivitas mengajar sampai sore dan efektifitas dari proses belajar-mengajar ini.
Berangkat dari itu meminta bapak menteri memertimbangkan kembali Full Day School atau delapan jam lima hari sekolah sampai sore agar tidak diseragamkan seperti di kota-kota besar.
Semoga bapak menteri diberikan kesehatan dalam menjalankan tugas untuk pendidikan yang berkeadilan.




Salam Hormat

Eka Ilham
Ketua Umum
Serikat Guru Indonesia(SGI) Bima



Komentar

Postingan populer dari blog ini

SGI Bima: Buku Antologi Bhineka Dalam Karya Terbit

SGI Bima: N.Marewo Dalam Doa

SGI Bima: Pendidikan Dan Rantai Kemiskinan Oleh Rhenald Kasali