SGI Bima: Fahmi Hatib Presidium FSGI Pusat Jangan Abaikan Kesehjahteraan Guru
JAKARTA (HN) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) RI berencana melakukan redistribusi guru di wilayah Tanah Air. Selain berkaitan dengan sistem zonasi sekolah, kebijakan ini juga tidak terlepas
Dari penerapan aturan belajar delapan jam satu hari melalui lima hari sekolah.
Presidium Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Fahmi Hatib mengatakan, Kemendikbud harus melakukan redistribusi guru sesuai kebutuhan riil di sekolah. Kesejahteraan tenaga pengajar yang terdistribusi ke daerah terpencil juga tidak boleh diabaikan.
"Saya berharap tidak hanya guru unggulan yang didistribusikan ke sekolah pelosok. Pemerintah juga tetap harus mendukung fasilitas mereka. Jangan sampai tujuan meratakan kualitas pendidikan menurunkan semangat para pengajar," kata Fahmi kepada HARIAN NASIONAL, Minggu (16/7).
Fahmi menilai, penumpukan tenaga pengajar di satu sekolah favorit menjadi penyebab kualitas pendidikan Indonesia tidak merata. Menurut Fahmi, penumpukan itu juga terjadi di daerah seperti Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT).
"Sebaran guru di NTB tertinggi dikuasai Kota Bima dengan 93 persen," ujarnya menegaskan.
Wilayah Lombok Barat dan Kota Mataran, lanjut Fahmi, berada di urutan kedua dengan catatan 75 persen. Kemudian disusul Lombok Timur (61 persen), Lombok Utara (54 persen), Sumbawa (51 persen), dan Kabupaten Bima (50 persen).
Namun, Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Unifah Rosyidi memandang, Kemendikbud sebaiknya lebih dulu fokus memenuhi kuota tenaga pengajar. Sebab, sebanyak 36.151 guru pensiun pada 2017.
"Mungkin hanya tingkat SMA yang bisa dilakukan redistribusi. Jumlahnya pun terbatas. Jadi sebaiknya Kemendikbud memenuhi kuota tenaga pengajar lebih dulu," tutur Unifah.
Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kemendikbud RI Sumarna Surapranata mengatakan, redistribusi guru tidak hanya untuk mendorong pemerataan kualitas pendidikan di Tanah Air. Langkah ini, menurut dia, juga merupakan upaya memaksimalkan aturan lima hari sekolah.
Pasalnya, guru wajib memenuhi total tatap muka minimal 24 jam dan maksimal 40 jam agar mendapat sertifikat dan tunjangan profesi. Namun, kenyataan di lapangan, sejumlah tenaga pengajar dijumpai mengajar hingga 60 jam, dengan mencari tambahan sebagai guru honorer di sekolah swasta.
"Kami berusaha mengantisipasi hal tersebut. Makanya aturan lima hari sekolah bertujuan membuat guru fokus mengajar di satu sekolah," ujar Sumarna.
Foto:Fahmi Hatib.S.Pd Presidium FSGI Pusat
Dari penerapan aturan belajar delapan jam satu hari melalui lima hari sekolah.
Presidium Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Fahmi Hatib mengatakan, Kemendikbud harus melakukan redistribusi guru sesuai kebutuhan riil di sekolah. Kesejahteraan tenaga pengajar yang terdistribusi ke daerah terpencil juga tidak boleh diabaikan.
"Saya berharap tidak hanya guru unggulan yang didistribusikan ke sekolah pelosok. Pemerintah juga tetap harus mendukung fasilitas mereka. Jangan sampai tujuan meratakan kualitas pendidikan menurunkan semangat para pengajar," kata Fahmi kepada HARIAN NASIONAL, Minggu (16/7).
Fahmi menilai, penumpukan tenaga pengajar di satu sekolah favorit menjadi penyebab kualitas pendidikan Indonesia tidak merata. Menurut Fahmi, penumpukan itu juga terjadi di daerah seperti Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT).
"Sebaran guru di NTB tertinggi dikuasai Kota Bima dengan 93 persen," ujarnya menegaskan.
Wilayah Lombok Barat dan Kota Mataran, lanjut Fahmi, berada di urutan kedua dengan catatan 75 persen. Kemudian disusul Lombok Timur (61 persen), Lombok Utara (54 persen), Sumbawa (51 persen), dan Kabupaten Bima (50 persen).
Namun, Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Unifah Rosyidi memandang, Kemendikbud sebaiknya lebih dulu fokus memenuhi kuota tenaga pengajar. Sebab, sebanyak 36.151 guru pensiun pada 2017.
"Mungkin hanya tingkat SMA yang bisa dilakukan redistribusi. Jumlahnya pun terbatas. Jadi sebaiknya Kemendikbud memenuhi kuota tenaga pengajar lebih dulu," tutur Unifah.
Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kemendikbud RI Sumarna Surapranata mengatakan, redistribusi guru tidak hanya untuk mendorong pemerataan kualitas pendidikan di Tanah Air. Langkah ini, menurut dia, juga merupakan upaya memaksimalkan aturan lima hari sekolah.
Pasalnya, guru wajib memenuhi total tatap muka minimal 24 jam dan maksimal 40 jam agar mendapat sertifikat dan tunjangan profesi. Namun, kenyataan di lapangan, sejumlah tenaga pengajar dijumpai mengajar hingga 60 jam, dengan mencari tambahan sebagai guru honorer di sekolah swasta.
"Kami berusaha mengantisipasi hal tersebut. Makanya aturan lima hari sekolah bertujuan membuat guru fokus mengajar di satu sekolah," ujar Sumarna.
Dia meyakini redistribusi tidak akan berpengaruh kepada sekolah swasta.
"Pihak yayasan akan langsung membuka lowongan jika memang kekurangan guru," katanya.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Muhadjir Effendy sebelumnya menjelaskan, lima hari sekolah dengan kegiatan belajar selama delapan jam dalam satu hari itu sejatinya ditujukan kepada guru bukan untuk siswa.
"Jadi penerapan delapan jam kerja dalam sehari dan lima hari kerja itu menjadi tugas dan tanggung jawab guru, berdasarkan beban kerja guru," ucap Muhadjir.
Menurut dia, salah satu latar belakang utama penerapan delapan jam dalam sehari serta lima hari kerja selama sepekan adalah masalah beban kerja guru yang menjadi persoalan selama ini. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2017 tentang Guru menyebutkan, beban kerja guru paling sedikit 24 jam tatap muka dan maksimal 40 jam tatap muka dalam satu minggu.
Namun, sejak 2008, banyak guru tidak bisa memenuhi ketentuan itu sehingga ada yang tidak mendapat tunjangan profesi. Selebihnya, banyak yang memilih mengajar di sekolah lain untuk memenuhi beban jam kerja tersebut.
Oleh karena itu, pemerintah mengubah PP Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru itu menjadi PP Nomor 19 Tahun 2017, dengan mengalihkan beban kerja guru menjadi sama dengan beban kerja Aparatur Sipil Negara . Guru harus delapan jam sehari berada di sekolah dan masuk lima hari kerja dalam sepekan.
"Sementara siswa tidak harus delapan jam di sekolah, bisa belajar di mana saja, dan itu nanti akan masuk dalam penilaian oleh gurunya," ujarnya.
Reportase : Alvin Tamba
Editor : Admin
Editor : Admin
Komentar
Posting Komentar