SGI Bima: Stigma Pahit Sekolah Jualan Buku dan Seragam Oleh: Priyandono

Stigma Pahit Sekolah Jualan Buku Dan Seragam

Oleh: Priyandono

Fenomena Jelang Tahun Ajaran Baru.
Tema ada di bawah. Yuk, kita diskusikan

Jelang awal tahun ajaran, sekolah selalu menjadi sorotan publik. Salah satunya adalah tata cara dan mekanisme kepemilikan buku dan seragam. Kerap sekolah dituduh jualan buku dan seragam. Guru pun dituding menjadi kepanjangan tangan penerbit dan distributor kain. Stigma itu sungguh sangat menohok, menyakitkan.

Bahkan, ada Lembaga Swadaya Masyarakat yang demo di depan kantor wakil rakyat. Bahkan, ada orang tua wali murid yang mengadu ke Dinas Pendidikan. Mereka menduga ada beberapa sekolah yang mengoordinasi penjualan buku dan seragam. Sehingga biaya awal masuk sekolah menjadi sangat besar. "Daftar ulang memang gratis, tapi seragam dan bukunya itu yang harganya selangit," katanya

Sekolah memang berpotensi dibidik para pebisnis. Bagi pebisnis, sekolah bukan hanya sekedar tempat ngangsu kawruh, tapi juga lahan yang subur bagi pengembangan bisnis. Tak terkecuali pernerbit maupun distributor seragam, sehingga bisa terjadi KKN. Modusnya bermacam-macam. Ada yang melalui penjualan langsung ke sekolah-sekolah (direct selling) ada juga yang melalui jalur birokrasi.

Direct selling biasanya sering mengalami jalan buntu. Hal ini disebabkan karena para pengelola sekolah takut melakukan transaksi langsung dengan penjual. Sehingga jalur birokrasi menjadi alternatif. Salesman datang ke sekolah dengan membawa purbawasesa (rekomendasi). Kultur paternalistik yang belum luntur di saat reformasi pendidikan menyebabkan sekolah tak kuasa menolak. Padahal, sekolah yang jadi kambing hitam

Untuk menghindari fitnah, semua pihak terkait harus menyikapi dengan hati yang jernih, mawas diri, dan bila perlu melakukan autokritik. Orang tua wali murid maupun masyarakat secara umum jangan gegabah memberikan cap sekolah jadi swalayan.

Sekolah mengambil policy semata-mata untuk kepentingan siswa. Apa salahnya kalau guru mengkoordinasi penjualan buku dan seragam, ketika harga kedua barang tersebut sama atau bahkan lebih murah dibanding dengan harga di toko. Apakah ini KKN? Yakinlah tata niaga buku dan seragam di sekolah belum sampai pada tataran bisnis. Uniformisasi (penyeragaman) diperlukan untuk mempersempit perbedaan (differensiasi).

Kata orang bijak, buku adalah jendela informasi dunia. Bagi siswa, buku merupakan bagian yang tak terpisahkan. Ia merupakan salah satu sarana kebutuhan dalam memperlancar proses belajar mengajar. Demikian juga seragam. Apa jadinya kalau siswa ke sekolah tidak berseragam. Niscaya yang terjadi adalah jor-joran pakaian. Sehingga anak dari kalangan the have setiap hari gonta ganti pakaian dengan harga yang mahal. Sementara siswa dari kalangan the have not pakaiannya ya itu itu saja. Jelas, ini akan semakin menambah kesenjangan. Yang kaya terlalu percaya diri, yag kurang mampu akan semakin minder.

Sorotan publik terhadap sekolah sebenarnya dipicu oleh anggapan bahwa guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Predikat tersebut sudah terlanjur lengket, sehingga seolah-olah tabu bila guru harus berurusan dengan yang namanya uang. Masyarakat jangan serta-serta menuntut sekolah. Jangan arogan memberikan stigma negatif. Yang patut ditanyakan masyarakat adalah Kenapa sekolah berani melakukan pungutan itu. Kemana aliran dananya? Siapa aktor yang bermain dibalik itu semua? Itu seharusnya yang patut diselidiki.

Pun juga Pemerintah, dalam hal ini Dinas Pendidikan. Jangan serta merta terus melebarkan mata. Jangan terburu-buru kebakaran jenggot menanggapi laporan wali murid maupun Lembaga Swadaya Masyarakat. Tak perlu bertegas-tegas meminimalkan komersialisasi pendidikan, tapi (maaf) jangan jangan justru ikut "bermain" di sana.

Pengadaan buku dan seragam yang dikoordinir sekolah sebenarnya jauh lebih menguntungkan. Karena orang tua wali murid tidak perlu repot pergi ke pasar atau toko. Berapa waktu, tenaga, biaya yang harus dikeluarkan kalau harus belanja ke toko sendiri. Di sekolah, wali murid tak perlu harus keluar rumah, pembayarannya pun tidak harus lunas langsung, bisa diangsur.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SGI Bima: Buku Antologi Bhineka Dalam Karya Terbit

SGI Bima: N.Marewo Dalam Doa

SGI Bima: Pendidikan Dan Rantai Kemiskinan Oleh Rhenald Kasali