SGI Bima:Saat Lima Hari Anak di Sekolah Oleh: Retno Listyarti.M.Si
Saat Lima Hari Anak di Sekolah
Pro-kontra terhadap Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2017 tentang Hari Sekolah menyisakan tanda tanya besar terhadap kinerja pemerintah dalam memenuhi delapan standar nasional pendidikan dalam delapan tahun terakhir pasca-keputusan Mahkamah Agung atas gugatan ujian nasional yang diajukan masyarakat.
Mereka yang kontra masih menggunakan argumen yang sama saat mengkritisi kebijakan UN ataupun Kurikulum 2013, yaitu belum terpenuhinya standar minimum pendidikan di seluruh Indonesia sebagaimana disebutkan dalam keputusan kasasi MA.
Meski secara lisan Mendikbud dan para pendukung kebijakan lima hari sekolah menyatakan kebijakan ini untuk penguatan pendidikan karakter (PPK) di sekolah, tidak ada penjelasan gamblang dalam Permendikbud No 23/2017 yang menjelaskan seperti apa PPK yang akan diimplementasikan.
Yang gamblang diatur justru lamanya berada di sekolah, bahkan urusan lamanya istirahat pun didetailkan dalam Pasal 2 Ayat (2) hingga Ayat (4). Istirahat ditentukan hanya 30 menit dan, jika sekolah ingin menambah waktu istirahat siswa, waktu pulang akan mundur lagi sesuai penambahan waktu istirahat. Sekolah pukul 07.00-15.00 dengan istirahat 30 menit. Maka, kalau istirahat ditambah 30 menit, waktu pulang sekolah menjadi 15.30. Dapat dibayangkan, betapa lelahnya anak-anak Indonesia di sekolah.
Hal ini sangat berbeda dengan sistem belajar di kelas yang diterapkan Finlandia, negeri yang pendidikannya sangat maju dan berkualitas. Di negeri itu, jika anak belajar 45 menit, akan diberikan istirahat selama 15 menit. Hal ini didasarkan pada prinsip kerja otak dan mempertimbangkan psikologi anak sehingga anak tidak kelelahan dan belajar berlangsung menyenangkan. Selain itu, waktu makan siang cukup untuk menjamin anak mengunyah makanan dengan perlahan dan benar demi kesehatan pencernaannya.
Sepuluh alasan penolakan
Baru melihat Pasal 2, saya dapat menyimpulkan, Permendikbud No 23/2017 ini tidak berperspektif kepentingan, kebutuhan, dan hak-hak anak. Sedikitnya ada sepuluh dasar pertimbangan mengapa kebijakan lima hari sekolah dengan 40 jam seminggu ini layak ditolak.
Pertama, kebijakan sekolah 40 jam bertentangan dengan berbagai peraturan perundang-undangan, antara lain UU Sistem Pendidikan Nasional, UU Perlindungan Anak, UU Guru dan Dosen, UU Pemerintahan Daerah, dan UU Hak Asasi Manusia. Sejak diterbitkannya UU Sistem Pendidikan Nasional, sekolah di berbagai daerah di Indonesia memiliki otonomi penuh untuk mengelola sistem pendidikan sesuai dengan kekhasan daerah masing-masing, lebih terutama terhadap kebutuhan tumbuh kembang anak. Kebijakan sekolah 40 jam bertentangan dengan semangat otonomi daerah dan otonomi pendidikan bagi sekolah-sekolah.
Kedua, sumber daya manusia pendidikan yang berkualitas rendah. Sistem pendidikan delapan jam di sekolah di tangan guru yang belum paham dapat membunuh karakter anak. Sistem pendidikan saat ini masih menganggap anak bejana kosong yang perlu diisi, bukan untuk menggembirakan dan menyalakan semangat agar bergairah belajar. Jika api semangat untuk belajar pada anak sirna dan padam, harapan membentuk akhlak mulia yang cerdas budi pekerti, kreatif, itu tidak akan memberi solusi.
Ketiga, menurut Socrates, pendidikan adalah untuk menyalakan obor, bukan untuk mengisi bejana, sementara proses belajar di kelas kita masih tradisional, kaku, sangat terstruktur, dipaksa duduk diam, dan belum bereksplorasi yang mendorong rasa ingin tahu siswa.
Keempat, dengan menerbitkan aturan 40 jam sekolah, pemerintah juga mengabaikan peran lembaga pendidikan khusus, seperti madrasah, sekolah alam, ataupun sekolah luar biasa bagi anak berkebutuhan khusus yang akan terbebani ketika jam belajar di sekolah lebih lama.
Kelima, kebijakan sekolah 40 jam juga akan mengganggu keseimbangan waktu anak untuk belajar dan bermain atau melaksanakan kegiatan lain di luar kegiatan akademik, selain menambah beban kerja guru yang seharusnya memiliki alokasi waktu untuk membimbing siswa di luar jam mengajar di dalam kelas.
Keenam, sampai hari ini, kekerasan di pendidikan masih menjadi isu yang marak di sekolah-sekolah, baik dalam bentuk perundungan oleh sesama siswa atau yang dilakukan oleh oknum tenaga pendidik. Selama hal ini tak menjadi perhatian utama melalui pengawasan kegiatan belajar-mengajar atau penegakan hukum, sekolah tidak akan pernah menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi anak, terlepas apa pun bentuk kebijakan pemerintah.
Ketujuh, ketentuan berapa jam sehari di sekolah dan berapa hari bersekolah itu urusan teknis yang menjadi domain sekolah (lihat UU No 20/2013 tentang Sisdiknas) serta kewenangan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota (UU No 23/2014 tentang Otonomi Daerah), bukan urusan menteri atau presiden.
Kedelapan, banyak sekolah belum memenuhi standar pendidikan minimum sebagaimana diatur dalam peraturan perundangan. Perpustakaan yang tak memadai, koleksi buku yang minim dan usang, kantin yang tak sehat dan tak layak, WC yang tidak layak dan jorok, bengkel/laboratorium yang tidak memadai-bahkan kadang tidak ada, tempat ibadah dan tempat istirahat yang tidak ada-kalaupun ada belum memadai, fasilitas seni dan olahraga yang tidak tersedia, lapangan olahraga yang minim, dan lain-lain.
Kesembilan, kebijakan 40 jam di sekolah bias masyarakat kota yang orangtuanya bekerja di kantor, kena macet, dan pulang senja ke rumah sehingga anak dirasa aman berada lebih lama di sekolah. Padahal, mayoritas masyarakat Indonesia justru tinggal di pedesaan, di mana sepulang sekolah anak-anak justru membantu orangtua di kebun, menggembala ternak, berjualan, dan lain-lain.
Diperkirakan jutaan anak Indonesia bekerja sepulang sekolah demi membantu ekonomi keluarga yang miskin. Di Purbalingga, misalnya, banyak anak yang sepulang sekolah bekerja mengumpulkan daun cengkeh kering untuk industri penyulingan minyak cengkih. Setiap 1 kilogram daun cengkeh kering dihargai Rp 3.000. Rata-rata seorang anak mampu mengumpulkan minimal 3 kilogram daun cengkeh kering. Upah disetor ke orangtua untuk membantu ekonomi keluarga.
Membantu orangtua juga bagian dari pendidikan karakter positif. Di Kumparan juga banyak anak-anak sepulang sekolah membantu orangtuanya dengan bekerja membuat batu bata. Jika jam belajar di sekolah delapan jam sehari, anak-anak ini tidak bisa membantu ekonomi keluarganya.
Kesepuluh, banyak anak di berbagai daerah harus berjalan berkilo-kilometer untuk mencapai sekolah, tanpa dibekali uang dan makan siang oleh orangtuanya karena kondisi ekonomi keluarga. Misalnya, anak-anak di Sumba Timur (NTT) yang harus berjalan kaki 15 kilometer dari rumah ke sekolah. Semakin lama di sekolah, semakin lama anak-anak itu menahan lapar.
Banyak daerah yang angkutan umumnya, seperti angkot, hanya sampai pukul 15.00. Jika anak makin lama di sekolah, jaminan keselamatan anak-anak pulang ke rumah juga terabaikan. Kita masih ingat kasus seorang anak yang mengalami perkosaan dan pembunuhan saat dalam perjalanan pulang dari sekolah.
Perlu kajian mendalam
Rencana pemerintah ihwal lima hari sekolah dan pengembangan karakter sebetulnya didasari niat baik demi meningkatkan kualitas pendidikan dan memenuhi janji Nawacita Presiden Joko Widodo. Tentu hal ini patut didukung dan diapresiasi sebagai sebuah langkah maju. Namun, sayangnya kebijakan ini tidak disertai kajian yang mendalam dan tanpa melibatkan partisipasi publik yang lebih luas. Bahkan, publik sulit memahami relevansi antara lamanya belajar dengan penguatan pendidikan karakter.
Pernyataan resmi yang mengaitkan lima hari sekolah dengan pengembangan karakter tidak sepatutnya diterima tanpa klarifikasi logis dan sesuai realitas di lapangan karena asumsi para birokrat dan para ahli yang dilibatkan dalam proses lahirnya kebijakan ini belum tentu mewakili karakteristik dan fakta lapangan. Alih-alih menguatkan pendidikan karakter, ternyata peraturan Mendikbud tersebut justru mengatur jam belajar anak disesuaikan dengan beban jam kerja guru. Anak berpotensi menjadi korban kebutuhan orang dewasa untuk memenuhi jam kerjanya.
Proses uji coba, yang menurut Mendikbud sudah dilakukan di 500-1.500 sekolah ternyata tidak dapat diuraikan secara sistematik hasil refleksinya. Publik pun dibuat tidak paham urgensi kebijakan ini harus diterapkan pada 10 Juli 2017, bertepatan dengan tahun ajaran baru 2017/2018.
Uji coba sebelum penerapan seharusnya menjadi landasan dibuatnya kebijakan karena data lapangan dan praktik di semua jenjang pendidikan dan di semua jenis sekolah (negeri ataupun swasta, miskin ataupun kaya) terwakili sehingga akan menjadi contoh dalam implementasi kebijakan. Ini akan menjadi kunci keberhasilan dalam implementasi. Namun, jika uji coba secara akuntabilitas juga tidak dapat dipertanggungjawabkan kesahihan dan validitasnya kepada publik, kebijakan ini tak akan mengubah apa pun di pendidikan kita, hanya akan menyiksa anak-anak Indonesia karena berada begitu lama di sekolah.
Sekali lagi, jangan membuat kebijakan dengan dasar asumsi dan opini para ahli dan para birokrat karena hal itu jelas tidak cukup dan akan menjadi bias. Ketertinggalan di pendidikan kita memang menuntut perubahan cepat. Namun, sejatinya, proses tersebut haruslah tetap didasarkan pada kebutuhan, kepentingan, dan hak anak. Berhentilah memolitisasi pendidikan. Mari membangun peradaban Indonesia yang kita cintai ini.
Retno Listyarti
Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) dan Komisioner KPAI Terpilih Periode 2017-2022
Pro-kontra terhadap Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2017 tentang Hari Sekolah menyisakan tanda tanya besar terhadap kinerja pemerintah dalam memenuhi delapan standar nasional pendidikan dalam delapan tahun terakhir pasca-keputusan Mahkamah Agung atas gugatan ujian nasional yang diajukan masyarakat.
Mereka yang kontra masih menggunakan argumen yang sama saat mengkritisi kebijakan UN ataupun Kurikulum 2013, yaitu belum terpenuhinya standar minimum pendidikan di seluruh Indonesia sebagaimana disebutkan dalam keputusan kasasi MA.
Meski secara lisan Mendikbud dan para pendukung kebijakan lima hari sekolah menyatakan kebijakan ini untuk penguatan pendidikan karakter (PPK) di sekolah, tidak ada penjelasan gamblang dalam Permendikbud No 23/2017 yang menjelaskan seperti apa PPK yang akan diimplementasikan.
Yang gamblang diatur justru lamanya berada di sekolah, bahkan urusan lamanya istirahat pun didetailkan dalam Pasal 2 Ayat (2) hingga Ayat (4). Istirahat ditentukan hanya 30 menit dan, jika sekolah ingin menambah waktu istirahat siswa, waktu pulang akan mundur lagi sesuai penambahan waktu istirahat. Sekolah pukul 07.00-15.00 dengan istirahat 30 menit. Maka, kalau istirahat ditambah 30 menit, waktu pulang sekolah menjadi 15.30. Dapat dibayangkan, betapa lelahnya anak-anak Indonesia di sekolah.
Hal ini sangat berbeda dengan sistem belajar di kelas yang diterapkan Finlandia, negeri yang pendidikannya sangat maju dan berkualitas. Di negeri itu, jika anak belajar 45 menit, akan diberikan istirahat selama 15 menit. Hal ini didasarkan pada prinsip kerja otak dan mempertimbangkan psikologi anak sehingga anak tidak kelelahan dan belajar berlangsung menyenangkan. Selain itu, waktu makan siang cukup untuk menjamin anak mengunyah makanan dengan perlahan dan benar demi kesehatan pencernaannya.
Sepuluh alasan penolakan
Baru melihat Pasal 2, saya dapat menyimpulkan, Permendikbud No 23/2017 ini tidak berperspektif kepentingan, kebutuhan, dan hak-hak anak. Sedikitnya ada sepuluh dasar pertimbangan mengapa kebijakan lima hari sekolah dengan 40 jam seminggu ini layak ditolak.
Pertama, kebijakan sekolah 40 jam bertentangan dengan berbagai peraturan perundang-undangan, antara lain UU Sistem Pendidikan Nasional, UU Perlindungan Anak, UU Guru dan Dosen, UU Pemerintahan Daerah, dan UU Hak Asasi Manusia. Sejak diterbitkannya UU Sistem Pendidikan Nasional, sekolah di berbagai daerah di Indonesia memiliki otonomi penuh untuk mengelola sistem pendidikan sesuai dengan kekhasan daerah masing-masing, lebih terutama terhadap kebutuhan tumbuh kembang anak. Kebijakan sekolah 40 jam bertentangan dengan semangat otonomi daerah dan otonomi pendidikan bagi sekolah-sekolah.
Kedua, sumber daya manusia pendidikan yang berkualitas rendah. Sistem pendidikan delapan jam di sekolah di tangan guru yang belum paham dapat membunuh karakter anak. Sistem pendidikan saat ini masih menganggap anak bejana kosong yang perlu diisi, bukan untuk menggembirakan dan menyalakan semangat agar bergairah belajar. Jika api semangat untuk belajar pada anak sirna dan padam, harapan membentuk akhlak mulia yang cerdas budi pekerti, kreatif, itu tidak akan memberi solusi.
Ketiga, menurut Socrates, pendidikan adalah untuk menyalakan obor, bukan untuk mengisi bejana, sementara proses belajar di kelas kita masih tradisional, kaku, sangat terstruktur, dipaksa duduk diam, dan belum bereksplorasi yang mendorong rasa ingin tahu siswa.
Keempat, dengan menerbitkan aturan 40 jam sekolah, pemerintah juga mengabaikan peran lembaga pendidikan khusus, seperti madrasah, sekolah alam, ataupun sekolah luar biasa bagi anak berkebutuhan khusus yang akan terbebani ketika jam belajar di sekolah lebih lama.
Kelima, kebijakan sekolah 40 jam juga akan mengganggu keseimbangan waktu anak untuk belajar dan bermain atau melaksanakan kegiatan lain di luar kegiatan akademik, selain menambah beban kerja guru yang seharusnya memiliki alokasi waktu untuk membimbing siswa di luar jam mengajar di dalam kelas.
Keenam, sampai hari ini, kekerasan di pendidikan masih menjadi isu yang marak di sekolah-sekolah, baik dalam bentuk perundungan oleh sesama siswa atau yang dilakukan oleh oknum tenaga pendidik. Selama hal ini tak menjadi perhatian utama melalui pengawasan kegiatan belajar-mengajar atau penegakan hukum, sekolah tidak akan pernah menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi anak, terlepas apa pun bentuk kebijakan pemerintah.
Ketujuh, ketentuan berapa jam sehari di sekolah dan berapa hari bersekolah itu urusan teknis yang menjadi domain sekolah (lihat UU No 20/2013 tentang Sisdiknas) serta kewenangan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota (UU No 23/2014 tentang Otonomi Daerah), bukan urusan menteri atau presiden.
Kedelapan, banyak sekolah belum memenuhi standar pendidikan minimum sebagaimana diatur dalam peraturan perundangan. Perpustakaan yang tak memadai, koleksi buku yang minim dan usang, kantin yang tak sehat dan tak layak, WC yang tidak layak dan jorok, bengkel/laboratorium yang tidak memadai-bahkan kadang tidak ada, tempat ibadah dan tempat istirahat yang tidak ada-kalaupun ada belum memadai, fasilitas seni dan olahraga yang tidak tersedia, lapangan olahraga yang minim, dan lain-lain.
Kesembilan, kebijakan 40 jam di sekolah bias masyarakat kota yang orangtuanya bekerja di kantor, kena macet, dan pulang senja ke rumah sehingga anak dirasa aman berada lebih lama di sekolah. Padahal, mayoritas masyarakat Indonesia justru tinggal di pedesaan, di mana sepulang sekolah anak-anak justru membantu orangtua di kebun, menggembala ternak, berjualan, dan lain-lain.
Diperkirakan jutaan anak Indonesia bekerja sepulang sekolah demi membantu ekonomi keluarga yang miskin. Di Purbalingga, misalnya, banyak anak yang sepulang sekolah bekerja mengumpulkan daun cengkeh kering untuk industri penyulingan minyak cengkih. Setiap 1 kilogram daun cengkeh kering dihargai Rp 3.000. Rata-rata seorang anak mampu mengumpulkan minimal 3 kilogram daun cengkeh kering. Upah disetor ke orangtua untuk membantu ekonomi keluarga.
Membantu orangtua juga bagian dari pendidikan karakter positif. Di Kumparan juga banyak anak-anak sepulang sekolah membantu orangtuanya dengan bekerja membuat batu bata. Jika jam belajar di sekolah delapan jam sehari, anak-anak ini tidak bisa membantu ekonomi keluarganya.
Kesepuluh, banyak anak di berbagai daerah harus berjalan berkilo-kilometer untuk mencapai sekolah, tanpa dibekali uang dan makan siang oleh orangtuanya karena kondisi ekonomi keluarga. Misalnya, anak-anak di Sumba Timur (NTT) yang harus berjalan kaki 15 kilometer dari rumah ke sekolah. Semakin lama di sekolah, semakin lama anak-anak itu menahan lapar.
Banyak daerah yang angkutan umumnya, seperti angkot, hanya sampai pukul 15.00. Jika anak makin lama di sekolah, jaminan keselamatan anak-anak pulang ke rumah juga terabaikan. Kita masih ingat kasus seorang anak yang mengalami perkosaan dan pembunuhan saat dalam perjalanan pulang dari sekolah.
Perlu kajian mendalam
Rencana pemerintah ihwal lima hari sekolah dan pengembangan karakter sebetulnya didasari niat baik demi meningkatkan kualitas pendidikan dan memenuhi janji Nawacita Presiden Joko Widodo. Tentu hal ini patut didukung dan diapresiasi sebagai sebuah langkah maju. Namun, sayangnya kebijakan ini tidak disertai kajian yang mendalam dan tanpa melibatkan partisipasi publik yang lebih luas. Bahkan, publik sulit memahami relevansi antara lamanya belajar dengan penguatan pendidikan karakter.
Pernyataan resmi yang mengaitkan lima hari sekolah dengan pengembangan karakter tidak sepatutnya diterima tanpa klarifikasi logis dan sesuai realitas di lapangan karena asumsi para birokrat dan para ahli yang dilibatkan dalam proses lahirnya kebijakan ini belum tentu mewakili karakteristik dan fakta lapangan. Alih-alih menguatkan pendidikan karakter, ternyata peraturan Mendikbud tersebut justru mengatur jam belajar anak disesuaikan dengan beban jam kerja guru. Anak berpotensi menjadi korban kebutuhan orang dewasa untuk memenuhi jam kerjanya.
Proses uji coba, yang menurut Mendikbud sudah dilakukan di 500-1.500 sekolah ternyata tidak dapat diuraikan secara sistematik hasil refleksinya. Publik pun dibuat tidak paham urgensi kebijakan ini harus diterapkan pada 10 Juli 2017, bertepatan dengan tahun ajaran baru 2017/2018.
Uji coba sebelum penerapan seharusnya menjadi landasan dibuatnya kebijakan karena data lapangan dan praktik di semua jenjang pendidikan dan di semua jenis sekolah (negeri ataupun swasta, miskin ataupun kaya) terwakili sehingga akan menjadi contoh dalam implementasi kebijakan. Ini akan menjadi kunci keberhasilan dalam implementasi. Namun, jika uji coba secara akuntabilitas juga tidak dapat dipertanggungjawabkan kesahihan dan validitasnya kepada publik, kebijakan ini tak akan mengubah apa pun di pendidikan kita, hanya akan menyiksa anak-anak Indonesia karena berada begitu lama di sekolah.
Sekali lagi, jangan membuat kebijakan dengan dasar asumsi dan opini para ahli dan para birokrat karena hal itu jelas tidak cukup dan akan menjadi bias. Ketertinggalan di pendidikan kita memang menuntut perubahan cepat. Namun, sejatinya, proses tersebut haruslah tetap didasarkan pada kebutuhan, kepentingan, dan hak anak. Berhentilah memolitisasi pendidikan. Mari membangun peradaban Indonesia yang kita cintai ini.
Retno Listyarti
Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) dan Komisioner KPAI Terpilih Periode 2017-2022
Komentar
Posting Komentar