SGI Bima: Pendidikaan Yang Berkeadilan Mimpi-Mimpi Anak Desa Terpencil Oleh Eka Ilham
Pendidikan Yang Berkeadilan Mimpi-Mimpi Anak Desa Terpencil
Oleh: Eka Ilham
Berhenti bercita-cita adalah tragedi terbesar dalam hidup ini (Andrea Hirata)
Pendidikan berkeadilan bagi seluruh rakyat Indonesia sepertinya belum mengenai anak-anak didik kita di karampi kecamatan langgudu Kabupaten Bima. Potret pendidikan dibawah ini mencoba berbicara bahwa pendidikan di pinggiran atau terpencil masih belum tersentuh oleh politik kebijakan anggaran dua puluh persen yang telah ditetapkan pada tahun 2017 oleh pemerintah Indonesia. Siswa-siswa ini harus menahan mimpi-mimpinya memiliki gedung sekolah atau kelas yang bagus, buku-buku yang memadai, dan fasilitas pendidikan yang memadai. Ditengah keterbatasan ini mereka masih punya mimpi-mimpi agar kelak mereka dapat menggapai cita-cita sebagai polisi, tentara, kepala desa, polisi pamong praja dan guru. Cita-cita yang luhur dari mereka anak didik kita yang tinggal di daerah terpencil yang penuh kesederhanan dan keterbatasan. Pendidikan berkeadilan hanya sebagai angan angan ketika di perkotaan penuh dengan fasilitas yang memadai sedangkan disudut pelosok negeri ini masih saja kita temukan sekolah yang berada di pegunungan yang beratapkan jerami dan bambu untuk mereka belajar dan merawat mimpi-mimpi lugu mereka. Penyelenggaraan dari kegiatan sekolah yang memenuhi persyaratan kualitas ataupun penerapan pendidikan karakter pada anak didik kita ditengah kondisi sarana dan prasarana yang tidak layak disebut sekolah kita mengharapkan sebuah kualitas tentu ini merupakan hal yang terlalu berlebihan.
Tak perlu belajar matematika sampai SMA hanya untuk menghitung semua rencana masa depan yang mereka gantungkan pada sebuah gubuk sekolah reot dan tabungan receh dari orang tua mereka yang bekerja untuk menambal perut kehidupan keseharian. Mereka tidak menginginkan anak-anaknya untuk bersekolah di tempat yang tidak pantas kita sebut sekolah. Dinegeri ini kita terlalu banyak membuat sesuatu yang baru ganti kekuasaan presiden dan menteri pendidikan ganti kebijakan. Mereka di sudut gubuk sekolah ini tidak mengenal kebijakan-kebijakan itu. Mereka butuh sekolah yang layak, baju yang layak, buku yang layak, guru-guru mereka di gaji yang layak dan memberi jalan mereka untuk mewujudkan cita-cita lugunya itu.
Anak-anakku bendera yang kau pasangkan di gubuk sekolahmu itu malu pada kalian, karena kalian masih sempat menghormatinya dengan tangan mungil kecilmu itu. Bendera itu telah bolong sebolong dukanya bahwa keadilan bukan milik mereka tetapi keadilan milik mereka yang di kota. Tidak sedikitpun di raut wajah polosmu mengeluh akan tetapi wajah bersyukur ditengah keterbatasan. Wajah-wajah yang merawat mimpi-mimpi untuk tidak berhenti bercita-cita.
Indonesia tanah air beta pusaka abadi nan jaya
Indonesia kini engkau tertunduk malu.
Bima, 5 September 2017
11.34 PM
Oleh: Eka Ilham
Foto: Huda Desa Karampi Kec.Langgudu Kab.Bima-NTB
Sumber Foto: Huda
Berhenti bercita-cita adalah tragedi terbesar dalam hidup ini (Andrea Hirata)
Pendidikan berkeadilan bagi seluruh rakyat Indonesia sepertinya belum mengenai anak-anak didik kita di karampi kecamatan langgudu Kabupaten Bima. Potret pendidikan dibawah ini mencoba berbicara bahwa pendidikan di pinggiran atau terpencil masih belum tersentuh oleh politik kebijakan anggaran dua puluh persen yang telah ditetapkan pada tahun 2017 oleh pemerintah Indonesia. Siswa-siswa ini harus menahan mimpi-mimpinya memiliki gedung sekolah atau kelas yang bagus, buku-buku yang memadai, dan fasilitas pendidikan yang memadai. Ditengah keterbatasan ini mereka masih punya mimpi-mimpi agar kelak mereka dapat menggapai cita-cita sebagai polisi, tentara, kepala desa, polisi pamong praja dan guru. Cita-cita yang luhur dari mereka anak didik kita yang tinggal di daerah terpencil yang penuh kesederhanan dan keterbatasan. Pendidikan berkeadilan hanya sebagai angan angan ketika di perkotaan penuh dengan fasilitas yang memadai sedangkan disudut pelosok negeri ini masih saja kita temukan sekolah yang berada di pegunungan yang beratapkan jerami dan bambu untuk mereka belajar dan merawat mimpi-mimpi lugu mereka. Penyelenggaraan dari kegiatan sekolah yang memenuhi persyaratan kualitas ataupun penerapan pendidikan karakter pada anak didik kita ditengah kondisi sarana dan prasarana yang tidak layak disebut sekolah kita mengharapkan sebuah kualitas tentu ini merupakan hal yang terlalu berlebihan.
Tak perlu belajar matematika sampai SMA hanya untuk menghitung semua rencana masa depan yang mereka gantungkan pada sebuah gubuk sekolah reot dan tabungan receh dari orang tua mereka yang bekerja untuk menambal perut kehidupan keseharian. Mereka tidak menginginkan anak-anaknya untuk bersekolah di tempat yang tidak pantas kita sebut sekolah. Dinegeri ini kita terlalu banyak membuat sesuatu yang baru ganti kekuasaan presiden dan menteri pendidikan ganti kebijakan. Mereka di sudut gubuk sekolah ini tidak mengenal kebijakan-kebijakan itu. Mereka butuh sekolah yang layak, baju yang layak, buku yang layak, guru-guru mereka di gaji yang layak dan memberi jalan mereka untuk mewujudkan cita-cita lugunya itu.
Anak-anakku bendera yang kau pasangkan di gubuk sekolahmu itu malu pada kalian, karena kalian masih sempat menghormatinya dengan tangan mungil kecilmu itu. Bendera itu telah bolong sebolong dukanya bahwa keadilan bukan milik mereka tetapi keadilan milik mereka yang di kota. Tidak sedikitpun di raut wajah polosmu mengeluh akan tetapi wajah bersyukur ditengah keterbatasan. Wajah-wajah yang merawat mimpi-mimpi untuk tidak berhenti bercita-cita.
Indonesia tanah air beta pusaka abadi nan jaya
Indonesia kini engkau tertunduk malu.
Bima, 5 September 2017
11.34 PM
Komentar
Posting Komentar